Nijushi No Hitomi - Dua Belas Pasang Mata by Sakae Tsuboi

Blurb __________

Sebagai guru baru, Bu Guru Oishi ditugaskan mengajar di sebuah desa nelayan yang miskin. Di sana dia belajar memahami kehidupan sederhana dan kasih sayang yang ditunjukkan murid-muridnya. Sementara waktu berlalu, tahun-tahun yang bagai impian itu disapu oleh kenyataan hidup yang sangat memilukan. Perang memorak-porandakan semuanya, dan anak-anak ini beserta guru mereka mesti belajar menyesuaikan diri dengan zaman.









Judul : Nijushi No Hitomi - Dua Belas Pasang Mata
Author : Sakae Tsuboi 
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 248 hlm
Alih bahasa : Tanti Lesmana
Cetakan : kedua, september 2016
ISBN : 978-602-03-3281-9

Review __________

“Apa sebenarnya Merah itu? Kenapa aku dianggap Merah, padahal aku tidak tahu apa-apa tentang Komunisme?”

Dua Belas Pasang mata terbit di Jepang sendiri pada tahun 1952, dan menjadi novel best-seller. Difilmkan juga oleh sutrada Keisuke Kinoshita pada tahun 1954 dengan judul yang sama. Buku yang aku punya ini cover baru cetakan kedua 2016.

Bercerita tentang kehidupan seorang guru dan penduduk di pesisir pantai. Setting yang diambil yaitu saat perang melanda Jepang. Disebut-sebut sebagai novel anti perang. Namun tidak begitu ditonjolkan yang dimaksud dengan anti perang di sini seperti apa. Lebih, menonjolkan kehidupan semasa perang dan perasaan Bu Guru Oishi yang kurang setuju setelah dewasa nanti anak laki-laki harus mempertaruhkan nyawanya di medan perang.

Mengambil latar tempat sebuah desa miskin bernama Desa Tanjung di Laut Seto. Di mana sekolah dasar di sana, hanya sampai kelas empat, naik ke kelas lima mereka harus pergi ke desa utama dengan perjalanan kurang lebih 5 km dengan dua jalur yaitu menyebrang dengan perahu, atau berjalan kaki mengitari perbukitan. Di sana juga hanya ada dua guru. Tepatnya, dua guru saja cukup. Guru yang ditugaskan di sana, kalau bukan karena akan pensiun, juga guru magang yang nantinya akan dipindakan ke sekolah utama.

Bu Guru Oishi ditugaskan mengajar sekolah cabang tersebut untuk menggantikan guru sebelumnya, yaitu Miss Kobayashi yang harus berhenti karena memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya. Bu Guru Oishi yang memiliki perawakan mungil, menjadi bahan pergunjingan warga desa karena dia datang ke sekolah dengan menggunakan sepeda dan mengenakan pakaian model barat. Mereka tidak tahu saja alasan Bu Guru Oishi mengendarai sepeda ke sekolah. Wajar saja si ya, karena kehidupan di desa tanjung kan biasa saja, apalagi lagi zamannya perang. Di kampung aku aja kalau ada hal-hal baru pasti jadi bahan gosip.

Bu Guru Oishi ini dipandang sebelah mata, terutama saat badai menerjang desa tersebut, beberapa rumah penduduk roboh. Saat Oishi, mengajak anak-anak membantu warga membersihkan kerikil dan tertawa dengan muridnya, malah dianggap tidak punya simpatik dan mentertawakan penderitaan orang lain. Kesalahpahaman itu memang tidak bertahan lama saat Oishi mengalami kecelakaan karena muridnya.

Bu Guru Oishi tidak lagi mengajar di Desa Tanjung, walaupun ingin kembali, namun kondisi yang tidak memungkinkan terpaksa direlakannya. Dia pun mengajar di sekolah utama. Toh, mereka akhirnya bertemu jua saat anak-anak itu menginjak kelas lima. Tapi, tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Beberapa muridnya tidak dapat melanjutkan karena berbagai macam hal. Terutama yang berhubungan dengan ekonomi. Tentu saja Bu Guru Oishi sangat sedih, ditambah perang yang terus berkelanjutan. Murid lelakinya yang sudah dewasa nanti harus pergi ke medan perang, tawa dan kepolosan mereka di masa kecil membuat Bu Guru Oishi tak rela mereka harus mempertaruhkan nyawanya.

Hingga terdengar kabar, seorang guru dipenjara karena diduga menghasut muridnya dengan ajaran merah dan melanggar Undang-Undang Anti Huru Hara. Pada saat itu tidak bisa bicara sembarangan, apalagi mengkritik pemerintahan. Kejadian itu pun membuat Bu Guru Oishi mengambil keputusan besar.

Perang telah mengubah segalanya, kemiskinan, penyakit dan pasokan makanan yang semakin berkurang. Bukan hanya Indonesia, Jepang juga pernah mengalaminya.

Karakter tokoh digambarkan dengan sangat kuat. Bu Guru Oishi yang penyayang dan tidak begitu menghawatirkan pandangan orang tentangnya. Dua belas muridnya yang memiliki karakter berbeda sangat menyukai Bu Guru Oishi. Ada yang suka bicara blak-blakan, ada yang pendiam, ada yang pandai bernyanyi, ada yang sudah yakin dengan cita-citanya di masa depan, dan lainnya yang membuatku sangat terhibur dengan kedua belas anak tersebut.

Hal yang menarik,

Anak-anak di Desa Tanjung yang memiliki adik harus menjaganya hingga kedua orang tuanya kembali dari berlayar. Bahkan di usianya yang masih kecil, mereka harus menyiapkan makan sendiri. Saat bermain dengan teman-temannya pun sambil menggendong sang adik. *Jadi terkenang masa kecil.

Saat anak-anak mencoba menengok Bu Guru Oishi karena cedera di kakinya tak kunjung sembuh. Jika dilihat dari Desa Tanjung, Desa Bu Oishi yang ada di sebrang tidak begitu jauh, tapi setelah mereka melakukan perjalanan, hingga berjam-jam tak kunjung sampai, dengan perut lapar mereka hampir menyerah.

Ada dua pandangan berbeda yang aku ambil dari Dua Belas Pasang Mata ini, :

1.   Seorang ibu pasti akan merasa sedih jika kehilangan anaknya. Bukan pemikiran yang salah menurutku jika ada seorang Ibu yang tidak rela anaknya mempertaruhkan nyawa mereka di medan perang, karena pada dasarnya itu perintah mutlak kaisar. Bukan keinginan yang datangnya dari hati, juga embel-embel makanan lezat jika menjadi tentara. Menurutku ini salah satu novel ini dlabeli anti perang.

“Jaga diri kalian bai-baik. Jangan ‘mati terhormat’. Pulanglah dengan selamat.” Hlm. 189

2.  Para pemuda yang pergi ke medan perang ternyata memiliki hati yang lapang menjalankan perintah kaisar, jikalau harus gugur di medan perang. Bahkan kedua anak lelaki Bu Guru Oishi pun ingin ikut andil dalam peperangan. Namun, perang sudah berakhir dengan membawa kekalahan.

Overall, aku sangat menyukai Dua Belas Pasang Mata. Untuk terjemahannya juga enak dibaca. Rekomen deh yang belum baca.

4.5* of 5* untuk Dua Belas Pasang Mata





2 comments:

  1. apakah judul sebenarnya dari novel ini? Mengapa di versi inggirsnya ada yang menyebutkan judulnya "Twenty Four Eyes" ?

    ReplyDelete

Silahkan Tinggalkan Jejak di Bawah, ya!